Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Perumahan Tidak Efisien


Diduga Terjadi Mark-up, Disebabkan PPK/PPTK Tidak Profesional


Malang,- Hasil pemberitaan tabloid Entitas Hukum Indonesia edisi ke-2 lalu, yaitu pada kolom investigasi lensa, Tim ga-bungan wartawan Garda Media Indonesia dengan sigap langsung menanggapinya. Pemberitaan yang memuat kejanggalan dalam nilai/harga proyek hingga dugaan mark-up harga proyek pada Dinas Peruma-han tersebut, berbuntut konfirmasi dari tim gabungan wartawan Garda Media Indonesia terhadap Dinas Perumahan. Berdasarkan temuan tim wartawan tersebut, dari bebera-pa proyek pengadaan barang dan jasa di Dinas Perumahan Kota Malang, diduga ba-nyak mengalami “MARKUP harga barang.
Salah satunya pengadaan barang berupa pemberian dan pemasangan 200 Plat Tanda Inventaris atau Bangunan Aset Pemda yang menyerap anggaran Rp 92.874.000,-, kegiat-an tersebut dilakukan pada Bulan January – Mei 2011, yang dilaksanakan oleh CV Tara.
Menurut Kepala Dinas Perumahan Wahyu Setianto ketika diklarifikasi Tim wartawan In-vestigasi Garda Media Indonesia (GMI) me-ngatakan bahwa anggaran tersebut sudah termasuk honor dan lain- lain,” itu sudah ter-masuk honor Tim, Biaya operasional” kata-nya, Senin 03/12/12.
Setelah dilakukan pengecekan ulang dari sejumlah anggaran tersebut ada beberapa rincian yakni menurut PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) Muji Rahayu melalui Pejabat Pembuat Teknis Kegiatan (PPTK) nya Lely mengatakan dari sejumlah anggaran terse-but,  Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Seharga 51,9 juta per 200 Plat, kemudian diturunkan dengan harga kontrak CV sebesar 51,5 juta. Sedangkan untuk Biaya Operasional (BOP) Sebesar 18 juta, dan untuk Honor TIM Sebesar 23 Juta. Sehingga jumlah kese-luruhan Rp 92.500.000,- .
Selanjutnya proyek pemberian atau pe-masangan 18 papan himbauan untuk penga-man aset Pemkot Malang. Waktu kegiatan dilakukan mulai Januari-Juni 2011 dengan pagu anggaran sebesar Rp 60.751.000,- .
Lely menjelaskan bahwa pagu anggaran sudah sesuai,” harga kontrak CV 25 Juta, Biaya Timnya 23 Juta sedangkan untuk biaya operasionalnya 5 juta dan semua sudah se-suai”. Katanya Senin 03/12/12.
Namun, Saat ditanya apakah ada harga pembanding dari pasaran setem­pat sesaat sebelum pelelangan dengan Harga Perkiraan Sendiri telah sesuai dengan Perpres No 54 Tahun 2010 tentang pengada­an Barang dan Jasa khususnya pada pasal 66 poin ke (7) yang me­nyatakan “Penyu­sunan HPS dida­sarkan pada data harga pasar setempat, yang diperoleh berda­sar­kan hasil survei menjelang dilaksanakannya Pengadaan”??!
Lely mengatakan sudah, “saya sudah membandingkan harga di-pasaran berapa dan saya sudah survey dipasar comboran,” ung-kapnya.
Setelah itu ketika pihaknya di-tanya jika memang sudah survey pasti ada keterangan tertulis yang menyatakan bahwa telah dilakukan survey, mereka tak bisa men­jawab dan memilih diam. Bahkan ketika dita­nya berapa tebal tipisnya plat (yang notabene Spesifikasi Teknis Barang) tersebut mereka mengaku TIDAK TAHU.
Kemudian Wahyu mengakui jika pihak PPK dan PPTK selama ini TIDAK MEM-PERHATIKAN aturan-aturan tersebut,” Kita menyadari kekurangan selama ini, dan kami akan memperbaikinya untuk lebih memper-hatikan itu,” Katanya.
Pernyataan PPK Muji Rahayu terkait ada-nya Biaya Operasional dimentahkan oleh Busro Ahli Pengamat Pengadaan barang dan jasa saat dihubungi EHI melalui telpon. “Biaya Operasional itu sepertinya TIDAK ADA. Se-dangkan biaya administrasi kalau dalam artian biaya pendukung seperti pembuatan doku-men mulai dari perencanaan hingga pelaksa-naan memang ada, tapi itu pun harus jelas peruntukannya, karena sudah ada dasarnya dalam HSPK (Harga Satuan Pokok Kegiatan) yang telah diatur Kota Malang”, ucapnya.
Terkait pertanyaan mengenai jumlah un-tuk Biaya Operasional  yang menelan angga-ran hingga 18 juta serta beya lain nya di peng-adaan barang yang lain, Busro TERTAWA, pe-nuh arti, sembari mengatakan pokoknya se-mua itu harus LOGIS, diperiksa lagi aja dulu, selayaknya tidak seperti itu” tuturnya.

Maraknya “modus” PPK/PPTK bekerja tidak profesional?
Berbagai permasalahan terkait pengada-an barang dan jasa pada lingkungan peme-rintah pusat hingga daerah seringkali ber-muara pada ketidak profesionalan atas kinerja pihak-pihak yang secara langsung terlibat dalam pengadaan barang dan jasa tersebut. Tak luput pula ketidak profesionalan kinerja pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pengadaan barang dan jasa sering berujung pada kerugian atas keuangan Negara, yang pada tingkat permasalahan tertentu dapat dikategorikan sebagai KORUPSI.
Selain itu, berbagai upaya dari berma-cam-macam elemen masyarakat yang selama ini telah mencoba turut serta dalam meng­kritisi kelemahan pasal per pasal dalam per­undangan yang mengatur penga­daan barang dan jasa hingga meng­awal proses pengada­an ba­rang dan jasa khu­susnya di ling­kungan pe­me­rintahan pusat hing­ga daerah sebagai wujud keikut­sertaan mereka dalam upaya per­wu­judan pemerintahan yang ber­sih, rupanya masih tidak bisa mem­bebaskan proses pengadaan ba­rang dan jasa dari praktik-praktik gelap yang sarat akan permainan kong­kalikong yang ujung-ujung­nya adalah KORUPSI.
Menurut konsultan pengadaan Khalid Mustafa dalam tulisannya pada web pribadi miliknya (www.khalidmustafa.info)  setelah diteliti lebih dalam, sebagian besar masalah terjadi karena ketidaktahuan dan kurangnya KOMPETENSI Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Penyebab utamanya adalah sebagian besar personil yang menjabat sebagai PPK bukan karena memang PANTAS menjadi PPK, melainkan karena menduduki jabatan eselon tertentu.
Menurutnya yang menjadi permasalahan adalah, luasnya ruang lingkup pengadaan ba-rang/jasa jika dibandingkan dengan ruang lingkup pengetahuan PPK. Seorang PPK ha-rus memahami Spesifikasi Teknis peng-adaan barang, pekerjaan konstruksi, jasa konsultansi, dan jasa lainnya. Seorang PPK TIDAK BISA berlindung dibalik tim teknis atau tim pendukung yang menyiapkan spesi-fikasi teknis. Seorang PPK tidak bisa berlin-dung dibalik konsultan perencana dalam pe-laksanaan pekerjaan konstruksi. Walaupun sebagian kegiatan perencanaan memang ha-rus diserahkan kepada ahlinya, namun pokok pikiran serta inti dari spe­sifikasi tetap harus dipa­hami oleh PPK.
Seorang PPK tidak bo­leh berucap “saya lulusan sosial, jadi tidak paham bangunan.” Apabila ditemukan kesala­han perenca­naan kons­truk­si, maka oleh penyidik atau pe­meriksa tetap akan diminta pertanggungja­wabannya. Yang disini berarti menun­tut keluas­an pengeta­huan dan pengalaman dari seo­rang PPK.
Dalam tulisan pria yang juga merupakan Founder di Pusat Pengkajian Peng­adaan Indonesia (P3I) dan Procurement Trainers di Lembaga Pengembangan dan Konsultasi Nasional (LPKN) ini menuturkan bahwa, dalam hal penyu­sunan Harga Per­kiraan Sendiri (HPS) membu­tuhkan keahlian tersendiri, selain harus memahami karakte­ristik spesifi­kasi barang/jasa yang akan diadakan, juga harus me­ngetahui sumber dari barang/jasa tersebut. Harga barang pabrikan tentu saja berbeda dengan harga distributor apalagi harga pasar.
Dan yang paling sering terjadi adalah, entah karena kesengajaan atau karena keti-daktahuan, PPK menyerahkan perhitungan HPS kepada penyedia barang/jasa atau malah kepada broker bin makelar yang melipatgandakan harga tersebut untuk mem-peroleh keuntungan pribadi atau kelompok. PPK langsung mengambil harga tersebut tanpa melakukan chek and recheck lagi. Aki-batnya pada saat pengadaan selesai dan dilakukan pemeriksanaan oleh aparat hukum, ditemukan MARK UP harga dan mengaki-batkan kerugian negara. Lagi-lagi karena keti­daktahuan dan keinginan kerja cepat dan ti­dak teliti menjerumuskan PPK ke ranah hu­kum.
(yus/pri)





0 komentar:

Posting Komentar