Krisis kemanusiaan dan krisis kebangsaan sudah melanda
bangsa kita tecinta “Indonesia”, dengan sedemikian parahnya
tidak sedikit peristiwa mencengangkan dan menghentakan
dada terjadi akibat dari ketidak warasan orang – orang yang
seharusnya menjadi pemimpin di negeri ini. Praktik Korupsi,
Kolusi dan nepotisme merupakan mainan sehari – hari bagi
mereka yang mengaku bebas dan bersih dari kejahatan yang
amat kejam ini bahkan melebihi kejamnya seorang pembunuh.
Jika seorang pembunuh menghilangkan nyawa korbannya
secara langsung, maka para koruptor yang memakai topeng
pejabat, pengusaha dan pemimpin negeri ini perlahan – lahan
membuat gersang sudut-sudut kekayaan negeri dan memberikan
beban kemiskinan bagi anak cucu bangsa ini hanya demi
tercapainya keinginan diri dan kepuasan hatinya semata.
Namun semua apa yang terjadi juga tidak lepas dari peran
serta para pemilih yang meletakan mereka di ujung tombak
kepemimpinan negeri ini. Ketidak tahuan dan ketidak mau
tahuan rakyat bawah yang hanya dengan uang 50 ribu saja
mau memberikan kepercayaan akan perjalanan bangsa ini
kepada para koruptor dan pembunuh idialime bangsa. Rakyat
50 ribu ini “grudak – gruduk” kesana kemari mengusung
calon pemimpin yang telah membayarnya dengan sebuah
amplop berisi 50 ribu dan sekantong kresek beras. Hal ini
tentu saja dimanfaatkan oleh para koruptor yang mencalonkan
diri menjadi pemimpin bangsa, dengan memberikan music –
music dengan artis yang memiliki goyangan seronok tanpa
memperdulikan keadaan sekitarnya.
Kampanye terbuka dengan pengerahan massa dalam
jumlah besar, konvoi dengan truk – truk full musik, orasi yang
sengaja menghadirkan para artis idola dan pertunjukan panggung
hiburan banyak digunakan oleh para calon peserta Pilkada/
Pemilu. Mereka siap menjual apa saja demi tercapainya
keinginannya menuju kursi kepemimpinan, bahkan tidak jarang
dilakukan “Money politik” bagi abang sayur, tukang pijet,
mbakyu dodol jamu dan tukang-tukang becak agar menjadi
simpatisan. Nama besar partai pun seolah menjadi taruhan
dalam setiap Pilkada / Pemilu, padahal apa yang mereka lakukan
seharusnya sudah merupakan “WARNING” bagi rakyat apa
jadinya mereka jika sudah menjadi pemimpin di negeri ini. Jika
ditanya “Apakah mereka mengenal calon yang diusung
dan mengetahui visi, misi serta program – programnya?”
Mereka langsung menjawab “TIDAK”. Sudah kodrat
manusia tidak mau rugi, jika pada saat kampanye mereka rela
merogoh kocek dalam – dalam demi memuluskan maksudnya
menjadi pemimpin, tentu saja mereka sudah mengkalkulasi
dan mengintai apa – apa saja yang dapat mereka “keruk“
jika sudah menduduki kursi jabatan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melontarkan
kritik terhadap pelaksanaan kampanye terbuka yang dilakukan
partai-partai politik selama ini dalam acara presidential lecture
mengenai “Indonesia Democracy Outlook” yang diselenggarakan
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di Hotel
Borobudur, Jakarta, Rabu (16/01) dan kampanye seperti ini
harus dikurangi bahkan jika bisa dihapuskan sekalian.Semua ini
karena kampanye yang selama ini terjadi sama sekali tidak
memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang politik
dan demokrasi tapi malah jadi ajang pembodohan bangsa,
tapi pada kenyataannya Kampanye di Indonesia hanyalah merupakan
kampanye “Pepesan Kosong” saja. Kampanye yang
seharusnya mempunyai makna yang luas menjadi salah kaprah
dan tidak dapat memberikan arti yang sesungguhnya dan
menjadikan sudut kelemahan yang seharusnya mulai disadari
oleh rakyat Indonesia.
Jadi sudah “STOP” pelaksanaan kampanye berlebihan
yang justru hanya akan menciptakan calon – calon koruptor
di negeri ini. Rakyat Indonesia juga harus mulai belajar dan
belajar lagi dan jeli melihat sosok – sosok pemimpin yang sebenarnya
dan bukan asal melihat dari “Blegernya” dan Besarnya
Kampanye yang dilakukan. Lihat saja belakangan ini tidak sedikit
pelaku korupsi yang berasal dari Partai Politik yang mengaku
partainya bersih dari praktek korupsi ternyata menjadi sarang
bandit koruptor mulai dari pucuk pimpinan hingga bawahan,
bahkan saat ini kasusnya sedang ditanggani oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Lihat saja Partai Demokrat yang
pada saat kampanye mempunyai slogan “Katakan tidak pada
korupsi” ternyata semua kadernya yang menjadi model iklan
tersebut menjadi tersangka korupsi mulai dari Anas Urbaningrum,
Andi A. Mallarangeng dan Angelina Sondaq, bahkan
salah satu Partai yang terkenal religi dan memerangi korupsi
pucuk pimpinannya saat ini juga dicokok oleh KPK atas kasus
korupsi sapi. Bahkan kesannya tidak ada satupun partai politik
di Negara ini yang bersih dari kasus korupsi, satu persatu kader
partai politik terjerat dalam lingkaran setan.
Dari data Mendagri dari 2004 hingga 2012 Sebanyak 173
kepala daerah di Indonesia, terbelit kasus hukum, khususnya
korupsi. Dari jumlah itu sekira 70 persen di antaranya yang
telah diputus pengadilan dan sudah harus diberhentikan. Belum
lagi banyaknya politisi yanng secara moralitas patut dipertanyakan.
Apakah separah ini moralitas para politisi dan pemimpin
di negeri ini. Disinilah dituntut kepekaan dan kepandaian masyarakat
Indonesia untuk menentukan pemimpin yang amanah,
loyal dan memihak rakyat. Seharusnya pengenalan calon
– calon pemimpin bangsa dilakukan sejak dini dengan melihat
kapabilitas, kualitas dan kemampuannya di ranah politik dan
kenegaraan dan bukan hanya memilih orang yang hanya bisa
berkoar – koar jika dirinya mampu menjadi pemimpin bangsa.
Sebentar lagi negara kita akan menghadapi Pemilu untuk memilih
Presiden baru yang akan dilaksanakan di tahun 2014, namun
sudah tidak sedikit orang yang sudah berkoar dan mencalonkan
dirinya sebagai presiden, padahal mereka bukan bahkan sangat
tidak menguasai masalah kenegaraan hanya karena mereka
artis dan pengacara yang tiap hari muncul diinfotainmen dengan
statement – statement yang kadang tidak masuk akal dan
membuat orang yang melihat tertawa berani mencalonkan diri
menjadi presiden walaupun tidak ada partai politik yang
mengusungnya, apa jadinya Negara ini jika dipimpin oleh orang
– orang dengan moral rendah dan seenaknya sendiri apakah
sekarang kita akan menjadikan Negara ini “Negara Badut”
yang siap menerima cercaan dan hinaan dari manca Negara.
Namun kita juga tidak bisa menutup mata karena tidak
sedikit pula calon – calon pemimpin bangsa yang amanah dan
dapat mengemban tugas sebagai pemimpin bangsa. Saat ini
sudah bermunculan nama – nama yang dijagokan menjadi
Presiden dan pucuk pimpinan di negeri ini, mereka dengan
kemampuan dan sepak terjang yang sudah tidak diragukan
lagi, siap meramaikan bursa pencalonan presiden, sebut saja
Mahfud MD, Prabowo Subianto, Megawati Soekarnoputri,
Jusuf Kalla dan yang paling mengejutkan disebutnya nama
Jokowi dalam bursa pencalonan, bahkan nama
Jokowi mampu mengalahkan para seniornya hanya
karena kerendahan hati dan gaya
kepemimpinannya yang dekat dengan rakyat kecil.
Jadi sebenarnya penentu terpilih atau tidaknya
calon pemimpin bukan karena partai yang
membawanya, namun kharisma dan sosok calon
pemimpin itu sendiri.
Partai politik hanyalah menjadi kendaraan politik
yang mengusung calon tersebut, karena didalam
partai politik terdapat beberapa kepentingan yang
disandarkan kepada calon yang diusungnya. Kepentingan
pertama dengan diusungnya calon yang
populer dan dekat dengan rakyat, maka partai yang
mengusungnya akan menjadi terkenal juga. Kedua meskipun
platform sebagai partai politik serta merta menyatakan orientasi
politik praktis, namun partai politik juga mempunyai peran
pemberdayaan dalam pewujudkan good citizen. Peran ini
yang belum dapat direalisasikan parpol secara optimal. Dan
kecenderungan pencapresan prematur ini menjadi bukti, betapa
Parpol hanya sebagai kendaraan politik belaka, fungsi empowering
society sering kali diabaikan.
Parpol juga harus mulai melakukan fungsi yang selama ini
sudah mulai dilupakan, yakni melakukan pemberdayaan. Pendidikan
politik yang sehat dalam hal ini harus dijadikan agenda
Parpol, dimana rakyat dididik untuk mampu berpolitik secara
sehat. Fungsi parpol ini, barangkali sudah mengalami bias. Artinya
proses pendidikan dan pemberdayaan rakyat, dianggap tidak
lagi menjadi bagian mereka. Yang terjadi rakyat menjadi acuh,
apatis, pragmatis terhadap politik. Jika ini terjadi, berarti parpol
sudah mengalami kegagalan. Hingga akhirnya, melalui system
politik yang sehat, tujuan ideal politik, yakni memberkan kesejahteraan
bagi rakyat akan dapat terwujud. Jika Parpol sudah
memiliki kualitas yang handal, maka siapapun capres yang diusung
maka akan mampu memberikan harapan bagi kemajuan
bangsa ini. Semoga!
Publik telah dibuat semakin pesimistis terhadap keberhasilan
di dalam pemberantasan tindakan korupsi ini. Hal tersebut terjadi
karena tindakan korupsi bukannya mengalami penurunan, tetapi
malahan terus mengalami peningkatan yang drastis dari hari ke
hari. Bahkan lembaga superbody seperti KPK dibuat kelabakan
oleh aksi-aksi korupsi itu sendiri “jejaring korupsi”. Artinya setiap
tindakan korupsi yang begitu akut dan sulit sekali diberantas
itu tidak mungkin berjalan sendiri, akan tetapi ada kekuatan
besar di belakangnya, namun seharusnya hal itu tidak
menjadikan KPK blunder dalam melaksanakan tugasnya
memberantas korupsi dan harus bekerja all out, tidak tebang
pilih dan tidak ada alasan KPK kekurangan pegawai dan penyelidik
dalam menangani dalam kasus korupsi. “Akan sangat
terhormat jika KPK menjadi harimau walau hanya sehari
daripada menjadi domba dalam setahun.”
Label:
EDISI VIII
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
luar biasa, ENTITAS HUKUM "BERANI DAN TERPERCAYA".........
BalasHapusBERANTAS KORUPSI DAN "BEBASKAN RAKYAT DARI HUTANG KORBAN KETIDAK PASTIAN HUKUM" (ANSORY)