PEMBERANTASAN tindak pidana pembajakan dan pemalsuan piranti lunak
(software) komputer, musik dan film di Indonesia kini menghadapi kendala baru,
apalagi selama ini,proses hukum
terganjal oleh minimnya sosialisasi dan penindakan oleh aparat kepolisian dan
vonis yang dijatuhkan kepada pelakunya terkesan main - main.
Sebagai contoh, pada 2010
lalu Manajer Tekhnologi Informasi PT Kedaung Industrial (Anaka perusahaan
Kedaung Grup), Indramin Darmadi, hanya divonis hukuman enam bulan penjara
dengan masa percobaan satu tahun serta denda Rp 10 juta oleh majelis hakim di
Pengadilan Negeri Jakarta. Terdakwa sengaja menggunakan produk Microsoft,
Adobe, Symantec dan Corel dengan hanya membeli satu CD asli lalu
menggandakannya. Terdakwa juga membeli software bajakan dengan harga murah
tanpa membayar pajak kepada negara.
“Mana mungkin mereka akan
jera ,bila hukumannya terlalu ringan? Mestinya mereka di hukum penjara maksimal
lima tahun dan denda lima ratus juta rupiah seusai dengan Undang-Undang No. 19
tahun 2002 tentang Hak Cipta, hingga ada efek jeranya,” kata Timothy Haston,
pegiat anti pembajakan untuk kawasan Asia, dari Lousiana,Amerika Serikat kepada
Entitas Hukum Indonesia. Sumber di FBI bidang pembajakan
software,musik dan film, menyebutkan
dengan minimnya vonis terhadap pelaku kejahatan intelektual, membuka
peluang bagi sindikat baru untuk meneruskan jejak seniornya melakukan aksi yang
sama.
“Karena mereka beranggapan,
ketika tertangkap dan kasusnya digelar dipengadilan vonisnya tidak berat dan bisa dinegosiasikan. Terbukti
hingga kini, belum ada pelaku kejahatan intelektual di Indonesia yang divonis
sesuai dengan Undang-Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, di penjara
lima tahun lalu didenda Rp 500 juta,sesuai dengan Pasal 72 ayat 3,” cetus Cipta
Wiryawan, SH,MH praktisi hukum dan pegiat anti pembajakan dari Indonesia Bersih
anti Pembajakan (IBAP) kepada SM Akbar dikantornya.
Pasal 72 ayat 3
Undang-Undang No.19 tahun 2002 mestinya
membuat pelaku kejahatan intelektual terutama hak cipta di berbagai bidang
bisnis, termasuk industri software komputer, musik dan film merasa jera. Upaya Kepolisian dan Kejaksaan mengajukan
kasus pelanggaran hak cipta software komputer ke pengadilan kerap terganjal
vonis hakim yang terlalu ringan.
Para pelaku pembajakan
sudah tahu, siapa saja yang bisa diajak negosiasi dan berkompromi untuk usaha
ilegal mereka dan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk para oknum bisnis pembajakannya tetap lanaggeng,” ungkap
Henky, seorang distributor musik dengan nada tinggi.
Maraknya peredaran DVD dan
VCD bajakan menunjukan bahwa produsen ilegal
memiliki jaringan yang kuat ke berbagai lini hingga pabrik bajakan mereka ‘nyaman’
memproduksi tanpa tersentuh hukum. Semisal enam pabrik di Tangerang yang
dikuasai dua kelompok, sampai kini belum mampu dipreteli penegak hukum. Tiga
pabrik berada dalam satu komplek pergudangan di jalan Raya Perancis, Benda,
Tangerang. Tiga lainnya di Dadap, Ciledug, dan Ciputat.
“Setiap pabrik mampu
memproduksi 60 ribu sampai 100 ribu keping
film atau pun musik setiap hari. Dan pendapatan mereka bisa mencapai 60
sampai 70 miliar per bulannya. Itu belum termasuk bila ada pesanan film yang
dianggap box office dipasaran. Makanya, pabrik seperti itu banyak dekat dengan
oknum tertentu biar usahanya lancar dan tidak diganggu,” jelas sumber Entitas
Hukum Indonesia yang keberatan ditulis namanya.
Tingkat pasar DVD/VCD
bajakan selama tahun 2012 meningkat tajam, mencapai 80 sampai 90 persen dengan
harga perkeping Rp 5000,- Rp 7000. “Tapi kalau beli sepuluh dapat bonus satu
mas, kalau harga pokoknya sekitar Rp 1.250 sampai Rp 1.500 per keping dari
pabriknya. Kalau jual DVD orisinal atau
VCD-nya, untung kami sedikit ,karena harganya terlalu mahal tidak terjangkau
semua pembeli. Film orisinal dari harga Rp 15.000 hingga Rp 75.000, bahkan ada
yang Rp 150.000,” jelas, Rizal salah satu pedagang DVD film bajakan dibilangan
Glodok Plaza.
”Biasanya master film
dikirim via internet dengan cara
diretas,atau membeli di jaringan internet kemudian dikirim ke negara tujuan.
Dan film yang dipilih biasanya yang memiliki nilai jual tinggi dan film
terbaru yang belum tayang di bioskop Indonesia,” lanjut sumber ini, serius.
Software
Bajakan Rugikan Negara Rp 12,8 Triliun
Pada 2009 lalu, Donny
Sheyoputra dan para pengacara dari Business Software Alliance (BSA) telah diminta menjadi saksi ahli untuk 23
kasus pembajakan software di berbagai wilayah di Indonesia. BSA sendiri
merupakan organisasi perusahaan multinasional dan lokal yang memproduksi
software komputer yang berkantor pusat
di Washington DC,Amerika Serikat. Dalam setiap kesaksiannya di pengadilan, para
pengacara BSA berulangkali meningatkan tingginya kerugian akibat pelanggaran
hak kekayaan intelektual yang kasusnya dinilai sama pentingnya dengan kasus
narkoba dan pembunuhan.
“Dari catatan anggota BSA,
pemerintah Indonesia dirugikan sebesar USS 544 juta dalam potensi pajak dan
peluang bisnis akibat pelanggaran hak
kekayaan intelektual komputer selama
tahun 2009. Kerugiaan diduga mencapai USS 600 juta,” ungkap Donny
“Berdasarkan Interntional
Data Corporation (IDC) yang disiarkan pada April 2012, Indonesia masih
menempati peringkat ke sebelas dengan jumlah peredaran software bajakan sebesar
86 persen, dengan nilai kerugian 1,46 miliar dolar Amerika Serikat atau setara
Rp 12,8 triliun,”ungkap Sekjen Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan,Justisiari P
Kesumah.
Untuk mengantisipasi
pelanggaran tersebut, Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) menggandeng
Mabes Polri dan Ditjen Hak Kekayaan Intelektual kementerian Hukum dan Hak Azasi
Manusia menggelar ‘Program Mal IT Bersih’ dari pembajakan software. Program
tersebut digelar disejumlah kota besar di Indonesia, seperti Yogyakarta,
bandung, Semarang, Medan dan Semarang, pada Juli sampai November 2012 lalu.
“Pelanggaran hak cipta ini tidak saja menimbulkan kerugian finansial, tetapi
juga menurunkan kreativitas, dan menurunkan kepercayaan dari negara-negara produsen,”
kata Direktur Penyidikan Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan
HAM Muhammad Adri, dengan nada prihatin.
“Mungkin sistem peradilan
di Indonesia sudah saatnya menerapkan
sanksi secara proporsional untuk kasus pembajakan software, seperti sanksi
denda sesuai dengan tingkat kekayaan yang dimiliki pelaku pembajakan berkat usahanya.
Selain itu pembajak film ataupun musik juga,sudah saatnya diberikan efek jera
dengan vonis berat sesuai undang-undang hak cipta dan undang-undang perfilman.
Bukan sebaliknya, vonis ringan,” tandas Cipta Wiryawan.
Langkah penertiban dan
penindakan sering dilakukan aparat
penegak hukum, tetapi praktik pembajakan
tetap berlangsung. Bahkan, untuk
mengantisipasi semakin derasnya praktik pembajakan hak atas kekayaan
intelektual (HAKI) , pada 2003 lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan
Fatwa Nomor 1 Tahun 2003 tentang Hak
Cipta dan Fatwa Nomor 1/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang HAKI.
“Setiap bentuk pelanggaran
terhadap hak cipta, merupakan kezaliman yang hukumnya haram,” kata Ketua Komisi
Fatwa MUI, KH Ma’ruf Amin ketika itu. Dalam butir pertimbangannya, MUI
memandang bahwa praktik pelanggaran hak cipta sudah mencapai tahap yang
meresahkan.
“Hai orang beriman!
Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu,”. Selain itu, surat As-Syu’ara ayat 183 Allah berfirman,” Dan janganlah kamu merugikan
manusia dengan mengurangi hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi
dengan membuat kerusakan,”.
“Jika sudah begitu mestinya
vonis bagi pelaku kejahatan intelektual harus menimbulkan efek jera,
bukan sebaliknya loyo. Pasal 72 ayat 3
Undang-Undang N0. 19 tentang Hak Cipta dan fatwa Ulama sudah ada dan jelas
bunyinya, lalu menunggu apalagi ?,” tegas Delliyan Zulkarnain, pengamat HAKI
bidang film. *
0 komentar:
Posting Komentar