Oleh: Ki
Djarot Petruk
Ada sebuah pertanyaan
diantara kawan sesama penulis, mengapa saya mengambil contoh-contoh dari
dunia pewayangan dan tidak dari dunia nyata, baik yang sedang kita alami maupun
dari sejarah masa lalu. Pertanyaan ini sama persis dengan pertanyaan yang
disampaikan kepada Ir. Sujamto dalam diskusi yang ditulis dalam bukunya yang
berjudul Sabda Pandhita Ratu, itu sebabnya jelas bagi saya, karena dunia wayang
memang amat kaya dengan nuansa.
Berbagai model perangai manusia dapat kita jumpai di
dalamnya, baik rendah maupun luhur (tinggi). Tokoh-tokoh bawalaksana misalnya, tak akan ada habisnya kalau kita
tampilkan semuanya. Sebaliknya, dari dunia nyata amat sulit untuk mencari tokoh
bawalaksana yang bisa ditampilkan dalam penulisan. Justru disini kita lebih
gampang mencari tokoh yang tidak bawalaksana, seperti antara lain kasus Paku Buwana II yang
mencabut kembali tanah Sukowati yang pernah dianugerahkan kepada Pangeran
Mangku Bumi.
Sinyalemen saya tentang sulitnya mencari tokoh bawalaksana
dalam masyarakat nyata, itu tidaklah berarti bahwa memang tidak ada tokoh
semacam itu dalam masyarakat. Mungkin saja cukup banyak sosok-sosok semacam
itu. Bung Hatta misalnya, konon di kenal sebagai sosok yang adil dan amat teguh
memegang janji. Tetapi pengetahuan saya yang sempit menjadi kendala untuk
menonjolkan kejadian-kejadian dimana sifat bawalaksana dari sosok-sosok
tertentu mencuat keluar dengan nyata. Berbeda sekali dengan dunia wayang!.
Satu contoh yang amat menarik, yaitu kisah Bambang Kumbayana
(Resi Durna waktu masih muda) terpaksa memperisteri seekor kuda karena harus
menjunjung tinggi kata-kata yang telah diucapkannya.
Bambang Kumbayana adalah seorang satria muda dari Negara
Ngatasangin, putra Prabu Baratwaja. Suatu hari ia seorang diri ingin ke Negara
Pancala mengunjungi saudara seperguruannya yang bernama Raden Sucitra yang
kelak menjadi Prabu Drupada (ayah Drupadi), raja Pancala.
Tetapi maksud Bambang Kumbayana itu terhalang oleh adanya
lautan luas yang menghadang, yang tak dapat di seberanginya.
Dalam menghadapi kesulitan seperti itu dan dibakar oleh
hasrat yang berkobar-kobar, tercetuslah sumpah Bambang Kumbayana, “Barang siapa
dapat menyeberangkan aku ke tanah Jawa (Pancala), maka kalau dia laki-laki akan
aku angkat menjadi sedulur sinarawedi/sinorohwadi, (saudara yang melebihi
saudara kandung), dan kalau ia perempuan akan aku ambil sebagai isteri.”
Dan atas kehendak Dewa untuk menguji Bambang Kumbayana, tak
lama kemudian datanglah seekor kuda betina yang menyatakan kesanggupannya untuk
menolong Bambang Kumbayana. Tentu saja Bambang Kumbayana kaget bercampur heran.
Tetapi hasrat yang berkobar untuk mencari temannya di Pancala dan kesadarannya
untuk tetap menjujung tinggi kata-kata yang baru saja diucapkan, ia tak dapat
menolak uluran jasa kuda betina itu, betapapun perasaan berkecamuk dalam
dirinya.
Demikianlah akhirnya Bambang Kumbayana sampai ke pantai
seberang dengan selamat. Sebagai konsekwensi dari sumpahnya tersebut, maka ia
terpaksa memperisteri kuda betina yang berjasa tadi. Dan karena
prinsip bawalaksana itu menyangkut sikap
batin,tentu perkawinan itu tidaklah hanya bersifat proforma saja. Bambang
Kumbayana wajib memperlakukan kuda betina tadi betul-betul sebagai istrinya. Lahirlah
kemudian dari rahim kuda betina tadi seorang anak laki-laki yang diberi nama
Aswatama. Aswa, dalam bahasa sansekerta (juga bahasa Jawa kuna) berarti kuda.
Namun Aswatama tak perlu malu, karena kuda betina yang melahirkannya itu
sebenarnya adalah penjelmaan bidadari cantik yang bernama Bathari Wilutama.
Kisah Kumbayana ini kiranya dapat menambah kejelasan tentang
betapa pentingnya mengendalikan kata-kata yang kita ucapkan dan betapa
tingginya nilai bawalaksana dalam etika pewayangan. Siapa pun Kumbayana yang
kelak menjadi pandhita Durna itu, tidaklah terlalu penting. Yang pantas di
teladani adalah sikap bawalaksana yang telah ia tunjukan itu, meskipun ia harus
memperistrikan seekor kuda.
Dengan mengambil contoh sosok-sosok dari dunia pewayangan,
saya mempunyai keleluasaan yang amat besar dan ibarat sumber yang tak pernah
kering untuk menampilkan berbagai nilai dan karakter manusia yang tetap relevan
dan berharga untuk masyarakat kita sekarang ini. Dalam wayang kita dengan
leluasa mengambil perbendaharaan fiktif
yang amat bernilai untuk dunia nyata.
BERSAMBUNG
Sumber: Sabda Pandhita Ratu/Sujamto
0 komentar:
Posting Komentar