PENGUASA SERAKAH

Teladan Kepemimpinan dalam Cerita Pewayangan


Waktu Saya menjadi raja, banyak orang menertawakannya. Me¬nurut banyak orang Petruk dadi Ratu itu hanyalah lakon impian, lakon lamunan rakyat bawahan yang tak dapat memperbaiki keadaan. Mana mungkin rakyat miskin dan bodoh menjadi raja kaya dan bijaksana? Ada pula yang bilang, lakon itu adalah pasemon (sindiran) tentang kere munggah mbale (gelandangan yang menjadi kaya dan lupa daratan). Lainnya lagi mengejek, lakon itu hanyalah dagelan untuk menghibur orang miskin. Dan se¬bagian lagi berpendapat, Petruk dadi ratu itu kisah aji mumpung (kebe¬tulan), dimana orang miskin menggunakan kesempatan dalam kesempitan.
Dari dulu sampai sekarang, entah orang Jawa ataupun Belanda, mereka semua ter¬nyata tidak mengerti wayang. Mereka memi¬kirkan wayang secara wadag (fisik). “Pan¬tas, jika mereka menganggap saya, hamba sahaya yang kecil dan miskin ini, menggu¬nakan kesempatan, berpestaria menjadi raja. Petruk dadi Ratu itu bukan lakonnya orang bodoh jadi raja, atau lakonnya orang kecil beraji mumpung, tapi lakon mencloke wahyu marang kawula (hinggapnya wahyu pada diri rakyat)”
Masih segar dalam ingatanku, bagaima¬na saya yang hanya rakyat jelata sampai men¬jadi raja. Alkisah, tuanku Abimanyu men¬derita sakit. Abimanyu adalah peran¬tara, yang nantinya akan mewariskan dam¬par (tahta) Palasara, pendiri Astina, kepada Parikesit, anaknya. Bersamaan dengan sakit¬nya, pergilah ketiga wahyu yang dimilikinya, yakni wahyu Maningrat, yang menyebar¬kan benih keratuan, wahyu Cakraningrat, yang menjaga keberadaannya sebagai ratu, dan wahyu Widayat, yang melestarikan hidupnya sebagai ratu.
Ketiga wahyu itu kemudian hinggap pada diri saya (Petruk). Aku pun akhirnya da¬pat menjadi raja di negara yang dinamai¬nya Lojitengara dan bergelar Prabu Wel-Geduwel Beh! Untuk kukuh menjadi raja, ternyata syarat yang dibutuhkan adalah damper kerajaan Astina, warisan Palasara. Aku mengutus kedua patih yang bernama, Bayutinaya titisan Anoman dan Wisandhanu titisan Wisanggeni, anak Arjuna, untuk mencuri tahta Palasara itu.
Kedua utusan itu berhasil membawakan ku pulang tahta tersebut. Sebagai sang Nata (raja) Prabu Wel-geduwel Beh aku mencoba duduk di atasnya. Begitu duduk, Aku pun terjungkal. Kucoba lagi berulangkali. Hingga akhirnya aku menyerah dan memperoleh bisikan melalui penasihat kerajaan bahwa supaya tidak terjungkal, Saya harus mem¬peroleh boneka yang bisa dililing (dilihat dan ditimang). Saya kembali menyuruh kedua utusanku, Bayutinaya dan Wisandhanu un¬tuk mencari boneka yang dimaksud. Tanpa memperoleh rintangan yang berarti, kedua utusanku berhasil membawa boneka itu yang tak lain adalah Abimanyu yang sedang sakit.
Ketika dipangkuanku, Abimanyu sem¬buh. dan Abimanyu berkata padaku, “Kamu takkan bisa menduduki tahta itu, jika kamu tidak memangku aku”.
“Pada saat itulah saya mengalami, bah¬wa saya ini hanyalah kawula. Dan saya sadar, saya akan tetap tinggal sebagai kawula, tak mungkinlah saya bisa duduk sebagai raja. Tugas saya hanyalah memangku raja, agar ia dapat menduduki tahtanya. Tuanku Abi¬ma¬nyu dapat duduk di tahta raja karena saya memangkunya. Jadi raja itu takkan bisa menjadi raja, kalau tidak dipangku kawula, rakyat jelata seperti saya ini”, kata ku sambil memandang tanah datar di hadapanku.
Dulu aku tidak tahu, mengapa ketika wahyu itu pergi meninggalkan tuanku dan hinggap pada diri saya. Sekarang aku pa¬ham, wahyu sebenarnya hanya pergi untuk sementara. Ia pergi hanya untuk nitik, me-nengok siapakah yang memangku orang yang kedunungan (dihinggapi) wahyu. Wahyu itu tidak asal hinggap. Dia akan hing¬gap pada orang yang layak dihinggapi, dan orang yang layak itu haruslah orang yang dipangku Petruk, sang rakyat dan sang kawula ini. Maka setelah tahu, bahwa Akulah yang memangku Abimanyu, wahyu itupun berhenti menitik dan ketiganya kembali kapada Abimanyu.
Di hadapan tanah datar itu, pikiranku me¬layang lagi. Betapa sedih jika aku meng¬ingat gugurnya Abimanyu dalam Perang Bharata Yudha. Juga akulah Petruk yang menggendong jenazah Abimanyu. Petruk pula yang membakar mayat Abimanyu menuju alam Mokshaya. “Saya ini hanyalah rakyat. Betapa pun hinanya diri saya, hanya saya yang bisa mengantarkan Sang Raja menuju alam kesempurnaannya. Sampai ke Moksha pun, raja itu bergan¬tung pada kawula. Hanya rak¬yatlah yang dapat menyem¬pur¬na¬kan hidup raja, bahkan ketika ia berhadapan dengan akhiratnya.
“Memang, kawula, sang rak¬yat ini ada sepanjang za¬man. Sementara raja itu ti¬daklah abadi. Ia bertahta hanya dalam masa tertentu. Ketika masa itu lewat, ia harus turun atau binasa. Sementara rakyat terus ada. Buktinya, saya ini ada di sepanjang zaman. Men¬jadi punakawan, hamba yang menemani penguasa dari masa ke masa, sampai hari ini. Ka¬wula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates (rakyat itu ada tanpa batas, sedangkan raja itu ada batasnya) Saya makin menya¬dari, siapa diri rakyat itu sebe¬narnya. Hanyalah rakyat yang dapat membantu penguasa untuk menuliskan sejarahnya.
“Maka seharusnya pengua¬sa itu menghargai kawula. Penguasa itu harus berkorban demi kawula, tidak malah ngrayah uripe kawula (menjarah hidup rakyat). Kwasa iku kudu ana lelabuhane (kuasa itu harus mau berkorban). Kuasa itu bahkan hanyalah sarana buat lelabuhan, kendati ia masih berkuasa, ia tidak akan di-petung (dianggap) oleh rakyat. Raja itu bu¬kan raja lagi, kalau sudah ditinggal kawula. Siapa yang dapat memangkunya, agar ia bisa menduduki tahta, kalau bukan rakyat? Raja yang tidak dipangku rakyat adalah raja yang koncatan (ditinggalkan) wahyu.
Tapi Ki Petruk, mengapa banyak pengua¬sa yang tak memperhatikan kawula, meng¬injak-injak dan menghina kawula, toh tetap dapat duduk di tahtanya? tanya beberapa orang padaku.
“Dalam pewayangan pun ada penguasa yang tak dipangku rakyat seperti saya. Dia adalah Dasamuka yang lalim. Dia adalah Duryudana yang serakah. Seperti halnya hanya ada satu tahta Palasara, demikian pula hanya ada satu tahta rakyat. Duryudana berkuasa, tapi tak pernah berhasil mendu¬duki tahta Palasara. Banyak penguasa ber¬kuasa, tapi mereka sebenarnya tidak bertah¬ta di dampar yang sebenarnya, yakni dam¬par rakyat ini”,
Coba dengarkan, tanah datar itu ber¬se¬nan¬dung Panitisastra: dulu tanah itu ada¬lah hutan lebat yang bersinga. Singa bilang, kalau hutan tak kujaga tentu ia akan dibabat habis oleh manusia. Dan hutan bilang, kalau singa tak kunaungi dan pergi dariku, pasti ia akan ditangkap oleh manusia. Akhirnya singa dan hutan sama-sama binasa. Singa yang tak berhutan dibunuh manusia, hutan yang tak bersinga dibabat manusia….
“Raja dan rakyat harus wengku-wineng¬ku (saling memangku), rangkul-merangkul, seperti singa dan hutan, seperti Abimanyu dan Petruk”. (Djarot / Petruk)

1 komentar:

  1. Betul pak Djarot/Petruk, Artinya Seorang Presiden yang Tidak Tau apa yang diamanahkan padanya akan menjadi "Presiden-Presidenan", Seorang Menteri yang tidak tau apa yang diamanahkan padanya akan menjadi "Menteri-Menterian" Seorang Jenderal yang Tidak Tau apa yang diamanahkan padanya akan menjadi "Jenderal-Jenderalan" jadi "Presiden-Presidenan", "Menteri-Menterian" dan "Jenderal-Jenderalan" alias Mainan Anak-anak.

    Agar supaya tidak menjadi mainan anak-anak maka Bapak Presiden, Bapak Menteri, Bapak Jenderal dan Bapak Penjabat yang lainnya perlu memahami apa amanah yang diberikan oleh Negara Indonesia Tercinta ini kepada Bapak-Bapak, Yakni "CERDASKAN MASYARAKAT INDONESIA DAN MAKMURKAN RAKYAT INDONESIA" sebetulnya hanya itu amanahnya bagi siapapun dan jabatan apapun yang disandangnya, maka Pemimpin masa depan adalah yang PUNYA METODE "CERDASKAN MASYARAKAT INDONESIA DAN MAKMURKAN RAKYAT INDONESIA" Salam.... (ANSORY).

    BalasHapus